Skip to main content

Cinta Pertama

Di hidupku, aku hanya punya satu sosok pria yang aku idam-idamkan, 
Yang diam-diam aku sebut namanya disetiap doaku. 
Dia adalah Ayah,
Laki-laki yang seringkali tanpa permisi masuk ke kamarku,
dan mulai membuka obrolan-obrolan manis berdua.

Bagi seorang perempuan, 
Ayah adalah cinta pertamanya.
Ya.. Aku mencintai Ayah.
Aku mencintai saat dimana kami duduk berdua ataupun berjalan berdua, 
Kemudian mulai mengingat-ingat kenangan yang pernah kami lewati bersama. 
Menanyaiku tentang kehidupan kampusku, 
Memberikanku berbagai nasihat, saran dan motivasi.
Pun tak ketinggalan, bertukar informasi mengenai dunia teknologi yang selalu menjadi topik hangat baginya.

Sungguh, ayah adalah laki-laki yang sangat mencintai anaknya sebesar itu. 
Dengan setiap tetes peluhnya, dengan setiap derita sakitnya, 
Dengan setiap asap kendaraan yang menempel ditubuhnya. 
Aku, mencintainya.


Sesungguhnya, cintaku padanya memang tak mudah terucap. 
Hingga di sisa nafas terakhirnya, 
Aku dengan rasa sesakku, akhirnya membisikkan kepadanya, 
'Mimi mencintai Ayah, mimi sayang sama ayah. 
Tapi yah, Allah lebih sayang sama Ayah. 
Mimi ikhlas, yah. Pergilah dengan tenang jika ini memang waktunya berpulang. 
Allah yang jaga kami, gak usah khawatir. 
Ayah fokuslah ingat Allah. Kosongkan hati dan fikiran Ayah. 
Ingat Allah saja. Allah, Lillah, terus ya, yah.' 

Waktu pun berlalu, hingga sampai saat ini, 
di hampir 2 tahunnya ayah berpulang, aku pun masih suka membisikkan cinta. 
Membisikkan rasa cintaku kepada Ayah melalui do'a yang kulambungkan kepada Sang Maha Pemilik Cinta.
Meminta padaNya agar kelak dikumpulkan kembali di tempat terbaik bersamanya, 
Meminta padaNya untuk dapat bercerita, bersenda gurau, melampiaskan rindu padanya,
Meminta padaNya agar amalan2 yang kukerjakan berimbaskan pahala juga untuknya,
Meminta padaNya agar aku, bersama adik-adikku terus dijaga dalam penjagaanNya agar bisa terus menjadi amal jariyahnya Ayah, menjadi ladang pahalanya Ayah,
Sebab, sungguh, aku belum bisa membalas jasanya sedikitpun semasa hidupnya.


***********************************************

Beberapa waktu belakangan entah kenapa perasaan saya begitu haru, berkali-kali seakan diingatkan tentang kehidupan setelah ini, tentang kematian yang tidak mengenal usia, tentang nikmat sehat yang seringkali kita lalaikan, tentang bekal yang akan dibawa nanti, tentang dosa yang mungkin belum tertaubati.

Sudah 2 minggu terakhir ini saya tidak berziarah ke makam ayah dan hari ini saat ada di hadapan makam beliau,  tiba-tiba pikiran saya seakan terbawa ke momen saat beliau meninggal, teringat jelas bagaimana perasaan yang saya rasakan kala itu, tak terasa air mata menggelayut di ujung mata ini. Sedih kehilangan orang yang kita sayangi tentunya. Tapi betapa kitapun diingatkan bahwa kita pun akan segera menyusul, cepat atau lambat hanya tinggal menunggu waktu. Teringat bahwa kematian berada amat sangat dekat. Bukan perkara tua atau muda, sakit atau sehat, ini hanya perkara batas jatah hidup yang Allah berikan sesuai ketetapannya.

Seringkali terbersit dalam benak ini,
sudah siapkan bekal apa untuk kembali nanti? 
Sudah cukupkah amal yang diperbuat selama di dunia untuk bekal nanti?
Membayangkan nanti hanya kita sendiri yang akan berada di dalam kubur, ditanyai malaikat tentang amal apa yang telah diperbuat selama di dunia. Apakah akan diberikan kelapangan ataukah kesempitan, diberikan cahaya ataukah kegelapan, diistirahatkan ataukah diberikan balasan.
Wallahu a'lam, semoga kita kembali dalam keadaan yang baik dan khusnul khotimah. 

Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam berziarah ke makam ibunya. Kemudian Rasulullah menangis dan membuat orang-orang yang ada di sekitarnya pun ikut menangis. Lalu beliau bersabda, 'Aku meminta izin kepada Tuhanku untuk memohon ampunan baginya (Ibu Rasulullah), tapi Allah tidak memberikan izin kepadaku. Dan aku meminta izin kepada Allah untuk menziarahi kuburnya, maka Allah mengizinkanku. Karena itu berziarahlah kalian ke kubur, karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan akan mati. (HR. Muslim).'
Saat ini, yang ada dipikiran saya hanyalah rasa bersalah. Semakin dewasa saya semakin menyadari bahwa orang tua sangat sangat berarti. Bahwa mereka seharusnya dibahagiakan, bukan direpotkan. Bahwa mereka seharusnya kita manjakan selagi mereka masih ada. Mendo'akan mereka sampai kita sudah tidak mampu lagi mendoakan.

Sungguh, tidak ada cinta yang lebih besar daripada cinta orang tua pada anaknya. Dan tidak ada laki-laki manapun yang mampu mencintai perempuan sebaik seorang ayah mencintai anak perempuannya. Percayalah.
Ketahuilah nak, aku adalah ayahmu walau dengan keterbatasanku. Aku selalu berusaha memenuhi semua inginmu karena kamu adalah bagian terpenting dalam hidupku, dan aku berusaha semaksimal mungkin menjagamu dan mendidikmu. - Laki-laki yang kucintai, ayah.
Allahummaghfirlahu warhamhu wa’aafihi wa’fu anhu..

Comments