Skip to main content

Masuk Surga Karena Rahmat Allah

"Masuk surga itu bukan sekedar karena amalan-amalan kita, melainkan karena rahmat Allah."
Alhamdulillaah, kemarin nasehat itu kembali mampir di telinga saya. Iya, alhamdulillaah, sebab masih ada saudara yang bersedia ngingetin, bahkan tanpa saya minta terlebih dulu. Emang sih ya, nasehat itu rasanya seperti berendam dalam air garam. Ia memang akan terasa perih ketika ada bagian tubuh yang terluka, tapi manjur mengembalikan kesegaran pada tubuh yang sedang tidak fit.
      “Cita-citaku masuk surga.”
Ini sih katanya jawaban sejuta umat. Maksudnya, sebagian besar manusia mendeskripsikan cita-cita jangka panjangnya adalah: Masuk surga. Nah, tentang surga ini, saya pernah disentil oleh sebuah kisah. Kisah tentang seorang ahli ibadah yang hidup selama 500 tahun dan selama ia hidup kerjanya cuma beribadah. *sempet kaget sih, lama banget dia hidup, baru inget kalo salah satu keutamaan orang jaman dulu adalah panjang umur*

Lanjut ya soal si ahli ibadah itu. Ia hidup di puncak gunung yang subur. Di sekitar gunung itu tumbuh tanaman delima yang buahnya ranum, juga dikelilingi laut yang airnya jernih. Intinya, si ahli ibadah itu hidupnya adem ayem tentrem. Krismon? Ga pernah ada dalam kamus hidup dia. Nah, sampai suatu ketika, tibalah waktu ajalnya dan ia memohon untuk dimatikan dalam posisi bersujud, dijaga jasadnya agar tidak membusuk, serta memohon agar saat dibangkitkan nanti, iapun dalam kondisi bersujud. Sampai tiba hari dibangkitkan, meskipun belum kejadian -tapi pengetahuan Allah meliputi segala hal kan- Allah berfirman pada hambanya tersebut, "Masukkanlah ia ke dalam surga karena rahmat-Ku."

Tapi si ahli ibadah itu membantah, “Ya Allah, masukkanlah aku ke surga karena amalanku.”
Kemudian Allah Ta’ala memerintahkan para malaikat,  “Cobalah kalian timbang, lebih berat mana antara kenikmatan yang Aku berikan kepadanya dengan amal perbuatannya.”

Ternyata…
Kenikmatan penglihatan yang dimilikinya lebih berat dibandingkan ibadahnya selama 500 tahun, belum lagi kenikmatan anggota tubuh yang lain.

Mashaa Allah, satu kenikmatan seorang hamba bahkan lebih berat dibandingkan amal ibadahnya selama 500 tahun. Kemudian apa jadinya amalan kita sampai hari ini?

Allah Ta’ala pun berfirman, “Sekarang masukkanlah hamba-Ku ini ke Neraka!”
Kemudian ia diseret ke dalam api Neraka. Hamba itu kemudian berkata lagi, “Ya Rabbi, ternyata benar, aku masuk Surga hanya karena rahmat-Mu, maka masukkanlah aku ke dalam Surga-Mu.” Kemudian, atas izin Allah, si ahli ibadah itu pun masuk surga.
Kata Jibril kepada Rasulullah, "Wahai Muhammad, sesungguhnya segala sesuatu itu terjadi berkat rahmat Allah Ta’ala." (HR. Al-Hakim)
Saya jadi mikir, mikiiiir banget. Merenungi nasib, jika boleh dibilang. Iya, sebab segala kebaikan yang kita rasakan memang datangnya dari Allah. Tujuan kita diciptakan memang untuk beribadah, tetapi ibarat motor, ibadah itu bukan mesin yang akan menghantarkan kita menuju tujuan akhir kita, yaitu surga. Ibadah hanya kemudi, sebab yang menyebabkan kemudi itu bisa bergerak juga semata-mata karena rahmat dan pertolongan Allah. Maka benar juga ya jika tujuan utama dalam hidup ini adalah meletakkan keridhaan Allah di atas segalanya, termasuk di atas pengharapan Surga.

Bukan berarti kita gak boleh berharap surga sih. Boleh kok boleh. Bahkan kita dianjurkan untuk meminta surga yang tertinggi, yaitu Firdaus. Nah, perkaranya adalah Surga pun nantinya menjadi rumah baru kita manakala Allah meridhainya. Jadi, kalo kita berhasil mendapat ridha Allah (Aamiin), maka secara otomatis, Surga akan menjadi tempat kita berpulang.

Saya lama sekali merenungi ini. Malu. Kadang kita mudah sekali berbangga dengan amalan-amalan ibadah yang udah kita kerjakan, tanpa pernah mencemaskan, adakah amalan itu Allah terima dan Allah ridhai.

Semoga ini jadi bahan renungan kita ya.

Wallahu a'alam.

Comments