Jadi ternyata, peristiwa-peristiwa kecil yang kita alami atau bahkan hanya sekedar hasil pengamatan kita atas orang lain mampu memberikan pelajaran besar untuk kita. Ini baru terpikir oleh saya beberapa waktu yang lalu ketika saya terlibat sebuah percakapan dengan seseorang.
Siang itu, seseorang mendekat, membuka percakapan dengan saya. Saya sama sekali tidak keberatan menanggapi sebuah percakapan, terlebih saya sedang tidak punya sesuatu yang harus dikerjakan. Tapi kemudian saya kecewa ketika ternyata yang hendak ia bicarakan adalah tentang “orang lain”. Lebih tepatnya, “keburukan orang lain”. Dia seolah mengajak saya terlibat dalam sebuah diskusi mengenai seseorang yang sama-sama ada dalam daftar pertemanan kami. Seseorang itu, yang tengah ia bicarakan, memang tidak terlalu saya kenal secara personal meskipun kami sudah saling mengenal. Dan lagi, sekalipun tidak begitu dekat, saya tahu siapa keluarganya dan bagaimana keluarganya. Mereka, baik. Baik sekali. Sejauh saya mengenalnya (seseorang tadi). Ia, dimata saya adalah sosok yang sangat baik, bersahaja, pintar, dan satu hal yang terpenting, dia punya prestasi yang bahkan tidak dimiliki oleh saya maupun orang yang tengah membicarakan keburukannya itu. Buat saya, itu poin yang sangat penting. Artinya, kami tidak lebih baik darinya, bukan?
Hal ini membuat saya terdiam sedikit lama seusainya percakapan itu. Bahwa memang benar, mau buruk ataupun baik, akan selalu ada orang yang membicarakan kita di balik punggung kita.
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Dan janganlah kalian saling menggunjing. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hujurat: 12).
Saya tipe orang yang sebenarnya tidak suka ketika saya secara tidak sengaja harus berada dalam sebuah lingkaran dimana perbincangan di dalamnya adalah seputar orang lain yang pada saat itu, tidak ada dalam lingkaran itu. Dari kesemuanya, yang paling membuat saya kecewa adalah bahwa kita, manusia-manusia pendosa ini, suka sekali meributkan urusan orang lain yang semestinya berada di luar jangkauan kita. Tidak semestinya kita melanggar batas itu. Bahwa orang lain berhak menjalani kehidupan atas pilihannya sendiri, bertindak atas kemauannya sendiri. Lalu kenapa kita sibuk menghujat mereka yang bahkan tidak merugikan hidup kita sama sekali hanya karena perbedaan pandangan, perbedaan prinsip? Hei, itu hak mereka, kita harus tahu.
Sesungguhnya, ketika kita punya pikiran buruk tentang orang lain, itu manusiawi. Tapi kemudian, kita harus terhenti pada tahap penilaian. Cukup ia ada di kepala kita saja. Tak usah dibicarakan kemana-mana, pada siapapun. Sungguh, itu kekanakan sekali. Lihat, nilai, diam, dan jadikan itu pelajaran untuk kita sendiri.
Dan lagi, satu poin terpenting adalah ketika pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang itu berada diantara ia dan Penciptanya, kenapa kita yang sibuk membicarakan dan menghakiminya? Bukankah hanya Allah satu-satunya yang berhak melakukannya?
Ini sebagai catatan untuk kita semua, termasuk saya sendiri.
Wallahu a'lam.
Wallahu a'lam.
Diam itu lebih baik dan menyelamatkan pahala kita,,,insyaAllah..aamin.
ReplyDelete