Skip to main content

Posts

Pusaran Kebaikan

Sudah menjadi fitrah manusia bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Sejak manusia itu dilahirkan sampai kemudian kelak meninggal dunia, manusia butuh manusia lainnya. Bahkan kadang untuk melakukan sebuah kebaikan sekalipun, kita butuh bantuan orang lain. Kebutuhan terhadap orang lain itulah yang kemudian secara alamiah menggerakkan kita untuk mencari komunitas. Biasanya kita akan cenderung pada orang-orang yang satu frekuensi . Entah itu karena kesamaan pemikiran, kesamaan hobi, kesamaan ideologi, kesamaan kebiasaan, bahkan kesamaan tujuan. Dalam Islam kita diarahkan untuk berkumpul dengan orang-orang sholeh. Bukan berarti islam itu eksklusif. Perintah untuk berkumpul dengan orang-orang sholeh itu lebih ditekankan pada hal-hal yang bersifat prinsipil. Misalnya yang terkait dengan akidah dan ibadah. Dari sanalah kemudian muncul istilah pengajian, mentoring ataupun liqo’. Mengapa Islam menekankan pentingnya berkumpul dengan orang-orang sholeh? Karena berkumpul denga

Radar Iman

Mari belajar tegar dari sosok Hajar, ibunda Nabi Ismail 'alaihi salam. Bagaimana tatkala sang suami, Nabi Ibrahim 'alaihi salam, terpaksa harus meninggalkan dirinya bersama bayinya yang masih merah di padang pasir nan tandus dan gersang. Dalam kebingungan dan ketidak-mengertiannya, Hajar berlari mengejar sang suami, mencoba menghalangi langkahnya untuk pergi, sambil bertanya:  “Mengapa engkau tinggalkan kami?” . Yang ditanya tak menjawab bahkan mengindar kala ditatap. Alih-alih berhenti, sang suami justru mempercepat langkah kaki. Hajar terus berusaha mengejar, dihalang-halanginya sang suami sekuat tenaga. Lalu Hajar kembali bertanya: “Mengapa engkau tinggalkan kami?” Tetap tak ada jawaban. Sang suami masih diam membisu bahkan memilih untuk terus berlalu. Sesaat sebelum berlalu, pandangan mata mereka sempat bertemu. Hajar melihat ada duka sedalam cinta di kedua mata suaminya. Radar imannya menyala, Hajar pun mengganti pertanyaannya:  “Apakah ini perintah Allah?”

Perasaan Tidak Berdosa

Jangan pernah merasa bahwa diri kita suci, merasa diri mulia, merasa diri paling agung, merasa diri paling benar, merasa diri paling hebat, dan merasa diri penuh dengan kelebihan. Jangan pernah menganggap bahwa diri kita tidak punya salah sama sekali. Terlebih, jangan pernah menganggap diri kita tidak punya dosa terhadap Allah dan sesama manusia. Sebab 'perasaan tidak berdosa' itu adalah dosa. Sebagai seorang mukmin kita di tuntun dalam ibadah yang sangat agung yaitu sholat, misalnya. Dzikir yang di tuntun pertama seusai sholat adalah istighfar. Bahkan dalam ibadah pun juga perlu di istighfari. Ini merupakan salah satu upaya agar kita tidak merasa diri ini paling suci dan paling benar. Agar kita tidak merasa bangga dengan segala ibadah kita. Apalagi ibadah yang lain, terutama ucapan kita yang terkadang sering menyalahkan orang lain. Menganggap orang lain buruk dan salah. Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membutuhkan ibadah kita sedikitpun. Oleh sebab itu jang

Menjaga Izzah dan 'Iffah

Rasa malu itu ibarat mahkota bagi para muslimah. Muslimah yang memiliki rasa malu cenderung lebih mampu menjaga izzah dan 'iffahnya. Tentang rasa malu ini, para muslimah perlu belajar banyak dari Maryam & Fatimah. Maryam pernah diuji dengan penampakan malaikat Jibril yang tampan lagi gagah, hingga dalam Al Qur'an dikiaskan sebagai “ manusia yang sempurna ” saking mempesonanya (lihat QS. Maryam ayat 17). Sedangkan Fatimah, pernah diuji dengan perasaan cintanya kepada Ali yang tumbuh sebelum waktunya. Bagaimana Maryam dan Fatimah menyikapi ujian yang Allah datangkan tersebut ?  Apakah ujian itu kemudian membuat Maryam dan Fatimah jadi baperan ? Nope , jawabannya tentu saja tidak.  Lantas apa yang dilakukan Maryam? Maryam kala itu, memilih untuk bersikap elegan. Ditundukkannya pandangan dengan penuh rasa malu sekaligus takut kepada Allah. Lalu Maryam mengumpulkan segenap keberaniannya dan dengan tegas berkata: “Sungguh aku berlindung kepada Allah yang

Sementara

Pagi ini langit bergemuruh  Kabut hitam di langit mulai mericuh  Tetes demi tetesnya berjatuhan  Sembari lega, begitu saja ia pergi meninggalkan  Perihal aroma hujan  Ia sejuk, menenangkan  Petrichor mereka beri nama  Sayangnya, hanya sementara ia menjelma  Tentang senja setelah hujan  Dusta jika mereka tak tertawan  Warna jingga berbaur merah  Ia sementara, namun bagaimana bisa ia begitu indah?  Akupun tertawan Tertawan rindu, pun nostalgia allahumma shoyyiban naafi'an

Waktu dan Prioritas

Beberapa waktu belakangan ini saya sedang menghadapi hari-hari yang Alhamdulillah padat. Di satu sisi saya merasa senang dengan ke-hectic-an ini, namun di sisi lain saya juga merasa kewalahan. Senang, karena dengan semua kesibukan ini, saya dapat sedikit teralihkan dari memikirkan hal-hal negatif, tentang sudah menjadi pribadi yang bermanfaatkah saya? Kapan saya dapat membahagiakan keluarga saya, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang rasa-rasanya belum juga berujung sebuah jawaban. (loh malah curhat :p) Sedih karena seringkali saya belum dapat memanage waktu saya dengan baik. Sehingga kadang ketika berhadapan dengan banyak deadline saya masih merasa keteteran bahkan kondisi badan malah drop. Akhirnya tidak maksimal disana sini. Rasa-rasanya waktu 24 jam sehari itu kurang sekali. Waktu rasanya cepat sekali bergulir. Padahal katanya kalau sampai kita merasa bahwa hari terasa cepat sekali berlalu artinya kita terlalu menikmati dunia kan. astaghfirullahal 'adzim :(

Cinta Pertama

Di hidupku, aku hanya punya satu sosok pria yang aku idam-idamkan,  Yang diam-diam aku sebut namanya disetiap doaku.  Dia adalah Ayah, Laki-laki yang seringkali tanpa permisi masuk ke kamarku, dan mulai membuka obrolan-obrolan manis berdua. Bagi seorang perempuan,  Ayah adalah cinta pertamanya. Ya.. Aku mencintai Ayah. Aku mencintai saat dimana kami duduk berdua ataupun berjalan berdua,   Kemudian mulai mengingat-ingat kenangan yang pernah kami lewati bersama.  Menanyaiku tentang kehidupan kampusku,  Memberikanku berbagai nasihat, saran dan motivasi. Pun tak ketinggalan, bertukar informasi mengenai dunia teknologi yang selalu menjadi topik hangat baginya. Sungguh, ayah adalah laki-laki yang sangat mencintai anaknya sebesar itu.  Dengan setiap tetes peluhnya, dengan setiap derita sakitnya,  Dengan setiap asap kendaraan yang menempel ditubuhnya.  Aku, mencintainya.